Monday, May 16, 2005

" Empat Isteri Kehidupan "

Di suatu waktu ada seorang kaya raya memiliki empat isteri. Didepan gerbang kematian , ia diberi kesempatan untuk mengajak hanya salah satu dari empat isterinya.

Pertama-tama ia panggil isterinya yang keempat. Maklum, ini yang paling muda, paling cantik, paling menawan, paling disayang, sekaligus menguras paling banyak uang. Dengan nada suara yang mengundang rasa kasihan, orang kaya yang sudah renta ini bertanya ‘maukah engkau menemani aku sampai kealam kematian,’ seperti disambar petir rasanya, ketika orang tua ini mendengar jawaban ketus isterinya yang keempat: ‘Ndak!’.

Kecewa dengan isterinya yang keempat, ia pun memanggil isteri yang ketiga. Bisa dimaklumi, karena ia adalah isteri rangking yang ke dua dalam banyak hal. Belajar dari kegagalan sebelumnya, ia pun bertanya sambil memeluk mesra isteri ketiga: ‘Sudikah kamu menjadi pendampingku memasuki gerbang kematian?’. Yang ini jawabannya lebih sopan: ‘Maafkan kanda, saya hanya bisa mengantarmu hanya sampai disini’.

Menangis mengakhiri pengalaman kedua ini, ia pun tidak putus asa. Dipanggilah isteri kedua, tentu saja dengan pertanyaan dan permintaan yang sama. Isteri kedua ini menjawab dengan lembut: ‘Saya akan antar kanda, tapi hanya sampai diliang lahat’. Untuk ketiga kalinya, orang kaya yang menghabiskan seluruh hidup dan keringatnya untuk menumpulkan kekayaan demi anak dan isteri ini, kecewa berat lagi.
Sehingga, yang tersisa hanya isteri pertama yang terkulai kurus, layu, lemah tanpa tenaga, dan kecantikannya sudah lama sekali memudar. Dengan pasrah orang kaya tadi bertanya dan meminta hal yang sama. Dan yang mengejutkan, kendati isteri pertama ini jarang diperhatikan, sering disakiti, dan paling sedikit mendapat uang, ia mengganggukan kepalanya tanda bersedia menemani sang suami sampai di dunia manapun.

Dari cerita diatas yang jelas ini menghadirkan refleksi yang sangat dalam. Isteri-isteri ini perilakunya sama serupa dengan empat isteri kehidupan.

Isteri keempat adalah atribut-atribut yang kita perjuangkan, pertahankan dan kita manjakan dengan banyak sekali tenaga. Ia bisa berupa jabatan, kekayaan materi, dan segala bentuk pembungkus badan kasar. Dan ketika kita mati, semuanya menjawab tidak ikut secara ketus kepada kita.

Isteri yang ketiga adalah badan kasar kita. Sebentuk badan yang dimanjakan banyak orang. Diberi makan yang enak. Diajak ketempat-tempat indah. Hampir semua lubangnya kita puaskan semampunya. Dan ia hanya bisa mengantar kita sampai ditempat kita dijemput sang maut.

Isteri kedua adlah teman dan keluarga kita. Sebaik-baiknya mereka, hanya bisa menangis mengantar kita sampai ke liang lahat. Sedangkan isteri pertama yang sangat kurang dari perhatian kita, dan mendapat alokasi dana dan tenaga paling sedikit, ia bernama sang jiwa. Dialah satu-satunya ‘isteri’ yang menemani kita selamanya.

So… seberapa banyakkah dana dan tenaga yang telah kita alokasikan khusus buat sang jiwa?.

-= Ridha99 =-

" Saat Diri Harus Beranjak Pergi "

Tubuh pun bergetar hebat, berbaur jeritan
ketakutan atau linangan air
mata bahagia karena ingin bertemu Rabb-nya.
Ditarik, dan dicerabut dari
setiap urat nadi, syaraf, dan akar rambut. Ini
sebuah titah, ia harus
kembali kepada pemilik-Nya. Allahu Akbar, janji-
Mu telah tiba.

Yaa Robbi..., alangkah sakit dan pedih. Perih
laksana tiga ratus
tusukan pedang, atau ringan bagaikan sebuah
pengait saat dimasukkan dan
ditarik dari gumpalan bulu yang basah. Duhai jiwa,
seandainya engkau tahu
bahwa sakaratul maut itu lebih ngeri dan dahsyat
dari semua sketsa yang
ada.

Sayup terdengar lantunan ayat suci Al-Qur'an, dan
sesegukan air mata
yang tumpah. Lalu, hening berbalut sepi. Semakin
hening, bening...,
menggantikan hingar bingar dunia di kala pagi yang
penat dan siang yang
meranggas. Diam pun menyisakan kepiluan,
kesedihan atau berjuta kenangan.
Dia telah pergi, dan tak akan pernah kembali.

Yaa Allah..., inikah kepastian yang telah Engkau
tetapkan?

Di mana tumpukan harta yang telah terkumpul
sekian lama? Pelayan yang
setia, rumah mewah, kendaraan, kebun rindang
dan subur, pakaian yang
indah, dan orang-orang tercinta, dimanakah kini
kalian berada? Semua telah
direnggut kematian, dicampakkan, dan
dihempaskannya kenikmatan dunia
yang dahulu terlalu dielu-elukan. Adakah segala
amanah dapat menuai
pahala, duhai Allah.

Kegelapan pun menyeruak, hitam pekat laksana
jelaga, sungguh mengerikan
sebagian jiwa yang akan berteman dengan amalan
jahat hingga tibanya
hari kiamat. Mencekam, berbaur jeritan keras
memekakkan telinga, "Jangan
Kau datangkan kiamat yaa Allah, sungguh aku
disini sudah sangat
tersiksa!!!" saat diperlihatkan tempatnya di neraka.

Bagi sebagian lainnya, alam kubur justru membuat
bahagia. Berteman amal
sholeh yang diibaratkan sebagai manusia dengan
paras sangat
menyenangkan. Lalu ia pun menjerit, menangis
bahagia saat ditunjukkan tempatnya di
surga, "Datangkan hari kiamat sekarang yaa Allah,
aku ingin segera ke
sana!!!"

Kematian...
Erat menyiratkan takut dan pilu serta lantunan
senandung duka.
Menciptakan nada-nada pedih dan gamang yang
kadang menghujam iman, hingga hati
pun bertanya, mengapa selalu ada perpisahan?
Rasa itu menghantam dan
menikam pada keluarga yang ditinggalkan.

Namun kematian adalah suatu keniscayaan,
karena ia telah dijanjikan.
Kematian pun hakikatnya adalah sahabat akrab
bagi setiap yang bernyawa.
Sayang, kesadaran itu begitu menghentak saat
orang-orang yang kita
cintalah yang direnggutnya. Ketika itu auranya
begitu dekat, serasa setiap
helaan nafas beraroma kematian.

Duhai jiwa...
Sadarkah engkau bahwa kelak kuburan adalah
tempat peristirahatan?
Sudahkah engkau siapkan malam pertama di
sana, seperti kau sibukkan diri
menjelang malam pertama pernikahan? Tidakkah
engkau tahu bahwa ia adalah
malam yang sangat mengerikan, malam yang
membuat orang-orang sholeh
menangis saat memikirkannya.

Kau gerakkan lidah ini untuk membaca Al-Qur'an,
tetapi tingkah lakumu
tak pernah kau selaraskan. Kau kenal setan, tapi
mereka kau jadikan
teman. Kau ucapkan bahwa RasuluLlah
SallaLlaahu Alayhi Wasallam adalah
kecintaan, namun sunnah-Nya kau tinggalkan. Kau
katakan ingin masuk surga,
tapi tak pernah berhenti berbuat dosa. Tak henti-
hentinya kau sibukkan
dirimu dengan kesalahan saudaramu sendiri,
padahal engkau pun bukan
manusia suci. Saat kau kebumikan sahabat-
sahabat yang telah mendahului,
mengapa kau mengira dirimu tak akan pernah
mati?

AstaghfiruLlah al 'adzim...

Duhai Allah...
Engkau yang Maha Mendengar
Dengarkan munajat ini yaa Robbi, berilah
kesempatan untuk kami selalu
memperbaiki diri
Jadikan diri ini bersih, hingga saat menghadap-Mu
nanti

Allaahumma hawwin 'alainaa fii sakaraatil maut
Allaahumma hawwin 'alainaa fii sakaraatil maut
Allaahumma hawwin 'alainaa fii sakaraatil maut

Ringankan kematian kami yaa Allah, mudahkanlah
duhai Pemilik Jiwa
Jadikan hati ini ikhlas saat malaikat maut menyapa
Hingga kematian menjadi sangat indah, kematian
yang husnul khaatimah

Wallahua'lam bi showab.

Sunday, May 15, 2005

" Menulis Diatas Pasir "

Ini sebuah kisah tentang dua orang sahabat karib
yang sedang berjalan melintasi gurun pasir. Di
tengah perjalanan, mereka bertengkar, dan salah
seorang menampar temannya. Orang yang kena
tampar, merasa sakit hati, tapi dengan tanpa
berkata-kata, dia menulis di atas pasir; HARI INI,
SAHABAT TERBAIK KU MENAMPAR PIPIKU.
Mereka terus berjalan, sampai menemukan sebuah
oasis, di mana mereka memutuskan untuk mandi.
Orang yang pipinya kena tampar dan terluka
hatinya, mencoba berenang namun nyaris
tenggelam, dan berhasil diselamatkan oleh
sahabatnya. Ketika dia mulai siuman dan rasa
takutnya sudah hilang, dia menulis di sebuah batu;
HARI INI, SAHABAT TERBAIK KU
MENYELAMATKAN NYAWAKU.

Orang yang menolong dan menampar sahabatnya,
bertanya, "Kenapa setelah saya melukai hatimu,
kau menulisnya di atas pasir, dan sekarang kamu
menulis di batu?" Temannya sambil tersenyum
menjawab, "Ketika seorang sahabat melukai kita,
kita harus menulisnya di atas pasir agar angin
maaf datang berhembus dan menghapus tulisan
tersebut. Dan bila sesuatu yang luar biasa terjadi,
kita harus memahatnya di atas batu hati kita, agar
tidak bisa hilang tertiup angin."

Dalam hidup ini sering timbul beda pendapat dan
konflik dengan suami / isteri, kekasih, adik /
kakak, kolega, dll,karena sudut pandang yang
berbeda. Oleh karenanya cobalah untuk saling
memaafkan dan lupakan masalah lalu. Manfaat
positif dari continuous relationship mungkin sekali
jauh lebh besar ketimbang kekecewaan masa lalu.
Nobody's perfect.

Belajarlah menulis di atas pasir....

::cinta::

Saturday, May 14, 2005

" Belaian Cinta di Purnama "

Tinggal di pelosok desa yang masih sangat sunyi
dan belum dialiri listrik membuat kumpul keluarga
di rumahku menjadi acara pokok setiap malam.
Dongeng dari papa dan mama menjadi rutinitas
yang tak sengaja ditunggu. Papa lebih cenderung
cerita yang seram-seram, tentang mayat yang
bangkit dari kuburan, tentang bayi yang dibuang ke
sumur tua dan cerita-cerita lainnya yang mampu
membuat kami menjerit sekuatnya. Kata papa sih,
biar kami jadi anak-anak yang berani. Benar juga,
efeknya terasa sekarang. Kami seakan kebal
dengan segala cerita horror.

Mama? Tentu saja dengan fitrahnya sebagai
seorang muslimah dengan segala sisi kelembutan
memilih jalur lain. Mama lebih banyak bercerita
tentang Malin Kundang yang durhaka, tentang nasi
yang menangis bila ditinggalkan, tentang
kewajiban mama saat seusiaku dan pelajaran lain
yang kadang sangat menyebalkan untuk didengar.
Namun, ada satu dongeng yang tetap kukenang
sampai sekarang. Dongeng tentang Cinta di Bulan
Purnama.

Aku dan adik-adik sangat senang dengan
kehadiran purnama, karena kami bisa main
sepuasnya di luar rumah. Sampai suatu saat
adikku yang waktu itu masih berumur lima tahun
menunjuk bulan dan bertanya Kak, itu gambar apa
yang ada di bulan?. Belum sempat kujawab,
mama dengan kasihnya menerangkan, Itu gambar
seorang ibu yang sedang menyusui anaknya. Aku
menajamkan pandangan dan gambar itu semakin
jelas. Ya! Mirip gambar seorang ibu yang sedang
menggendong dan membelai anaknya. Aku juga
belum mengerti ketika itu karena umurku baru
menginjak delapan tahun.

Aku ikut bertanya Kenapa menyusui harus ke
bulan? Mama akhirnya bercerita......
Itu hanya gambar, karena Tuhan punya cara
sendiri untuk menyayangi Ibu, maka Tuhan
melukis gambar itu agar anak-anak selalu ingat
bahwa ibu selalu sayang sama anaknya. Mama
berharap setiap kali kalian memandang purnama,
kalian juga ingat sama mama.

Yah, itu hanya dongeng sederhana dari seorang
ibu, tapi pengaruhnya sangat besar! Di kala aku
jauh dari mama. Aku sangat merindukan kehadiran
purnama. Sambil menatap bulan, waktu
berpendar.. Membawaku jauh ke pelataran cinta
mama. Tidak hanya mama, aku ingat satu per satu
wajah adik-adikku dan kebahagiaan ketika kami
masih bersama-sama.

Pernah di satu waktu, kami berkumpul kembali,
adikku bertanya Kak, masih ingat gak cerita
mama tentang cinta di bulan purnama?
Subhanallaah, ternyata adikku pun masih
mengingatnya. Pertemuan itu menghadirkan
nostalgia yang indah. Dimanapun ada purnama, di
situlah hati kami dipersatukan dalam rasa rindu
yang sangat kuat, di situ juga berbait rasa syukur
dan berantai doa yang tak terputus kupanjatkan
agar mama dan papa dimuliakan Allah..

Sahabat-sahabat, kenanglah dongeng-dongeng
yang pernah dilantunkan orang tua kita. Dulu,
mungkin kita belum mengerti.. tapi sekarang,
alangkah indahnya ketika hikmah itu terbentang di
depan mata.

Terimakasih ya Allah Hanya Engkau Yang Maha
Tahu cara membahagiakan hati-hati hamba-Mu.